Rasaku

Akhir-akhir ini, entah kenapa aku lagi badmood. Mungkin karena si kecil sedang lagi nggak enak badan (ketularan emaknya). Mungkin karena cuaca yang serba tak menentu. Sebentar panas, mendung, lalu hujan rintik-rintik sebentar, panas lagi lalu tiba-tiba mendung pekat disusul petir menggelegar menyambar-nyambar. Ah... Saat panas, tak kuasa menolak godaan minuman dingin walau itu air bening dari kulkas (padahal aku lagi menyusui, katanya kalo bisa hindari yang namanya ice, apapun bentuknya (es balok, air es, es cendol, es campur, es dawet, es krim, hmmm.. lho kok jadi mendaftar nama-nama es?) Tapiiii... eike gak kuat cyiin... dan akhirnya diriku gelap mata. Ah, satu teguk saja ga papa, lalu dua teguk, tiga teguk dan akhirnya tandas segelas besar. Lha, daripada mubadzir, khan? Halah.. Alasan! (Meringis sendiri sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal).

Mau ngapa-ngapain rasanya tak begitu bersemangat. Inginnya leyeh-leyeh aja. Tapi.. oh tapi.. kuingat pesan lelulur bijak kala ku pergi merantau dulu: "Rajinlah ketika kau malas." Petuah yang sungguh sangat bijak bukan, hehee..

Lalu, kalau lagi rajin? "Bersemangatlah mengerjakan hal-hal besar saat kau sedang rajin. Hebat bukan? Tapi pada kenyataannya? Aku merasa seperti kura-kura yang berjalan amat lamban karena membawa beban rumahnya sendiri, atau seperti anak SD yang berseragam merah putih, berangkat pagi-pagi ke sekolah sambil berjalan terbungkuk-bungkuk menggendong tas sekolah yang beratnya hampir menyamai berat tubuh mereka.

Selera makanku hilang entah kemana, semangat memasakku juga menguap terbawa udara panas, motivasi menulisku ibarat menemui jalan buntu. Hanya satu hal yang masih membuatku bersenandung riang: mencuci! Hehe.. mencuci pakaian-pakaian kotor yang menumpuk selama beberapa hari. Bikin kepala jadi adem sebentar di cuaca yang sangat panas ini.

Bahkan, untuk belanja sayur mayur pun enggan. Duh.. ampuni hambaMu ini Gusti.. Mungkin hamba butuh piknik. Tapi.. kemarin baru saja jalan-jalan bertiga ke taman kota.

Aarrghh… rasa ini sungguh mengganggu. Tapi hey, sebentar. Sebenarnya, apapun kejadian di luar sana sebenarnya netral saja. Cuaca panas ataupun dingin, ya memang sudah masanya. Tinggal bagaimana aku belajar mengelola rasa syukurku ini di dalam dada.

Di cuaca yang panas ini aku masih punya rumah untuk berteduh dari terik mentari yang semakin siang semakin panas menyengat, ada kipas sate (model kipas yang biasa dipakai oleh tukang sate), kipas manten (model kipas yang biasa didapat dari souvenir pernikahan), kipas kertas, kipas plastik, sampai kipas listrik yang tinggal colok saja.

Rumah kontrakanku ini memang belum berAC, dan kupikir-pikir, itu tak perlu. Selain bisa menambah biaya listrik juga aku sendiri tak tahan hawa AC. Khawatirnya, besok-besok kalau sudah terbiasa di ruangan berAC nanti malah jadi susah menyesuaikan diri di tempat yang tidak berAC. Masa iya, harus bawa AC kemana-mana? Kalau bawa kipas sate atau kipas listrik kemana-mana sih masih oke.  Hehehe..

Baiklah kalau begitu. Berdamai dengan rasaku. Menggali lebih dalam rasa syukurku di tengah cuaca dan kondisi Negara saat ini. Bersyukur masih ada rumah untuk berteduh, ada kulkas di rumah tempat menyimpan makanan dan minuman yang tak pernah kosong melompong isinya, walau hanya berisi air bening, masih bersama-sama dengan keluarga tercinta ini, bersama merajut mimpi-mimpi untuk masa depan yang lebih baik lagi.

Dan aku senantiasa merasa yakin, bahwa apapun kondisiku, Dia tak pernah meninggalkan dan mengabaikanku. Pertolongannya selalu bertebaran dimana-mana, tinggal mengandalkan kepekaan diriku saja. Semua kembali kepada pilihanku.

Selama ini aku selalu meyakini, tidak ada sesuatupun yang terjadi secara kebetulan belaka di dunia ini. Semua adalah skenarioNya. Begitupun ketika rasa malas membuatku terkadang lebih mesra dengan benda super canggih di abad ini bernama smartphone, dengan bijaksana Ia menyelipkan pesan cintaNya disana, saat mataku tertumbuk pada status WhatsApp seorang teman shalihah. Well, smartphone dan WhatsApp adalah dua hal yang tak akan bisa terpisahkan selamanya, menurutku.

Beginilah pesan cintaNya padaku, yang membuatku tertunduk malu. Betapa Ia begitu pengasih dan penyanyang kepada hamba-hambaNya.

 

Baiklah diri ini, kataku pada diri sendiri. Kau boleh rehat sejenak. Lakukan apa yang menyenangkan hatimu agar kau kembali berseri untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Aku Menulis