Mengapa Aku Menulis?

Kali ini, aku akan mencoba menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang terisnpirasi dari salah satu postingan di akun instagram mentor kelas menulis 30DWC (30 Days Writing Challenge) yang sedang aku jalani sekarang, yaitu Kak Rezky Firmansyah.

Ya, mengapa dirimu menulis Nine?

Apa yang membuatmu kini kembali lagi untuk memutuskan menekuni dunia kepenulisan lagi? Setelah sekian lama, ya bisa dibilang, tidak produktif. Ya, aku tetap menulis selama ini, tapi hanya sekadar menulis saja. Menulis seperlunya saja, sekadar coretan tentang beberapa hal dalam jurnal bulananku. Apalagi kemarin aku sedang semangat-semangatnya belajar bermuamalah, alias berdagang online. Catatan-catatanku seringnya dipenuhi oleh item-item barang dagangan dan angka-angka, mulai dari daftar harga, nomor rekening, nomor handphone, jumlah saldo, deposit, dan lain-lain; yang akhirnya pada suatu titik membuatku sedikit jenuh dan pusing juga. Hehehe…

Dari dulu aku suka menulis, juga membaca banyak buku dan menggambar. Tapi, masih dalam level sekedar suka. Belum ke level serius dan konsisten. Aku mengakui, sering punya banyak ide dalam kepalaku untuk dituliskan, dan menuliskan ide-ide dalam kepalaku menjadi untaian kata-kata adalah hal yang bisa dibilang cukup mudah dan menyenangkan untuk kulakukan tanpa banyak berfikir.

Jadi, ibaratnya, kalau aku sudah mulai mengetik atau menulis, maka kata-kata itu akan terus meluncur tanpa henti. Terkadang, memunculkan gagasan-gagasan baru lainnya. Malah terkadang, aku merasa sedikit kesulitan jika disuruh menulis dengan batas kata maksimal. Namun kuakui pula, yang masih menjadi kendala bagiku adalah, waktu untuk menuliskannya. Ya, waktu untuk menuliskan gagagan-gagasan yang muncul dalam kepalaku menjadi sebuah naskah yang utuh.

Seringkali gagasan yang muncul di pikiranku memang aku catat dalam sebuah notes. Aku tidak terlalu kesulitan untuk langsung memberi sebuah judul pada gagasan yang timbul tiba-tiba. Adakalanya, aku langsung tahu begitu gagasan itu muncul. Aha! Aku akan memberi judul ini pada gagasan ini dan sepertinya itu adalah sebuah judul yang tepat dan menarik.

Nah, sayang seribu sayang, terkadang banyak gagasan yang muncul dalam pikiranku hanya berujung menjadi tumpukan notes semata. Gagasan itu gagal tumbuh menjadi sebuah naskah utuh yang enak dibaca dan mendatangkan daya guna.

Terkadang, ketika membuka catatan lama, aku sendiri menemukan sebuah judul dengan isi yang masih kosong melompong. Lalu bertanya pada diriku sendiri, sejatinya aku bermaksud menulis apa ya pada judul yang telah kubuat ini? Duuh…

Adakalanya aku masih mengingatnya dengan samar. Beberapa ide yang pernah mampir di kepalaku dan beberapa gagasan yang kucatat dalam notesku. Pada sebuah kesempatan yang datang, ide yang pernah muncul itu akhirnya menjelma menjadi sebuah naskah utuh, untuk kemudian aku ikutsertakan ke dalam sebuah lomba kepenulisan, entah itu lomba cerpen, puisi, artikel, dan lain-lain.

Ya, ternyata campur tangan dari pihak luar ternyata bisa memaksaku untuk menyeret jari jemariku menari lagi di atas tuts keyboard. Memaksaku mewujudkan sebuah naskah utuh dari gagasan-gagasan yang pernah muncul. Walaupun pada akhirnya naskahku tidak lolos, tapi memang itu bukan satu-satunya tujuan utamaku. Paling tidak, aku telah mempunyai tabungan naskah utuh yang bisa dinikmati oleh para pembaca termasuk diriku sendiri. Oh ya, aku juga mulai mencoba memposting beberapa karya fiksi yang pernah kubuat di laman blogku yang beralamat di www.tintakatadancerita.wordpress.com. Silahkan mampir berkunjung ya 😊

Oke, sejauh ini aku telah menjelaskan bahwa diriku memang punya kemampuan menulis, dan memang bakatku ada pada bidang bahasa dan bersinggungan dengan seni, terutama seni rupa bidang dua dimensi. Tetapi, bakat itu tetap harus diasah bukan?

Jadi, baiklah, sepertinya dari tadi kau belum mulai menjawab kenapa dirimu suka menulis, Nine. Oke.. oke.. Nah, begitulah bakat yang belum terasah. Aku mungkin memang punya kemampuan menulis, tapi jika tidak terasah dengan baik, tulisanku pun jadinya tidak fokus, ngasal nulis saja, yang akhirnya makna tulisan tidak tertangkap dengan baik oleh para pembaca karena mereka terlanjur bosan atau bingung dengan pengantar cerita yang aku tulis. Hehehe.

Kali ini aku akan fokus menjawab pertanyaan yang kudeklarasikan sebagai judul tulisan ini, tentang mengapa aku suka menulis.

Aku Ingin Menjadi Seorang Penulis

Pertama, aku suka menulis karena aku ingin menjadi seorang penulis. Ya, dan definisi penulis buatku sendiri adalah seseorang yang konsisten menulis bermakna, minimal dua hari satu tulisan. Bukan hanya telah menghasilkan sebuah karya seperti buku antologi atau buku solo, atau karyanya telah terbit di sebuah media cetak atau elektronik yang bereputasi lalu dia merasa berpuas diri.

Seperti kata Richard Bach, “a professional writer is an amateur who didn’t quit.” Yang ditambahkan oleh Ashton, dkk (2003), “a good writer is a normal person who did not stop writing when he was not very good.”

Well, aku ingin menjadi seorang penulis, ya, orang biasa yang senantiasa terus menulis bermakna hampir setiap harinya. Karena dalam sehari, banyak sekali lintasan pikiran yang mampir di kepalaku, dan gagasan-gagasan yang muncul ditambah aktifitas sehari-hari yang tentunya merupakan sumber inspirasi tulisan yang berlimpah ruah. Tentunya, hal itu sayang dilewatkan begitu saja, bukan?

Boleh saja rehat sejenak menulis. Ya, terkadang, rasa bosan bisa menghampiri siapa saja bukan, termasuk para penulis. Bagiku, rehat terbaik seorang penulis adalah dengan membaca. Ya, membaca buku apa saja yang diminati. Biasanya aku mulai dengan membaca novel-novel ringan yang menghibur dengan bahasa yang membumi. Atau, adakalanya kalau sudah bosan akut alias jenuh, maka aku akan menonton film atau video motivasi, menggali inspirasi lewat gambar dua dimensi yang bergerak.

Setelah membaca atau menonton, biasanya suntikan ide pun muncul kembali, membangkitkan gairah menulis lebih tinggi dari inspirasi karya orang lain. See, sebuah karya nyata yang sederhana pun bisa menginspirasi orang lain. Entah bagaimana perjalanannya. Maka, bersemangatlah untuk terus membuat karya-karya nyata yang dapat dinikmati bersama, Nine. Begitu kataku pada diri sendiri. Hmm.. such an introvert. Talk to myself, hehehe.

Menuangkan Gagasan yang Mampir di Kepala, Inspirasi yang Terekam oleh Panca Indera

Jadi, aku ingin menulis karena aku ingin menjadi seorang penulis, yang senantiasa menulis tulisan bermakna setiap harinya, tentunya dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar dan aturan penulisan yang berlaku, alias tidak hanya sekadar nulis atau ngasal nulis. Mengapa? Karena ini bagian dari sebuah latihan untuk menghasilkan karya-karya yang lebih besar di kemudian hari. Aku ingin bisa berlatih menghasilkan naskah yang utuh dari ide-ide yang melintas di kepalaku dan gagasan inspirasi yang berseliweran di depan mataku setiap harinya.

Nah, untuk alasan ini, sepertinya aku telah berada di tempat yang tepat saat ini, insyaAllah. Di sebuat tempat bernama Empire of Writers, tempat para fighters berjuang menyelesaikan tantangan menulis 30 hari tanpa henti, tanpa tapi, tanpa nanti, dan selalu berusaha menulis dari hati. Intinya, mulai membangun habit untuk konsisten menulis kembali. Yeay, selamat, Nine! Congratulation!

Selain itu, dengan belajar bersama dengan komunitas yang membangun, insyaAllah akan ada tambahan ilmu dan feedback yang mendukung tujuanku dalam membangun habit untuk konsisten menulis bermakna ini. I’m so happy. That’s a good start.

Merekam Jejak Kisah Hidup dan Perjalananku di Dunia Ini

Kemudian, alasan lainnya mengapa aku menulis adalah aku ingin merekam jejak kisah hidupku sendiri, karena seperti dikatakan oleh Yenita Anggraini yang ditulis dalam blog pribadinya, blacklazy.com

“No one can tell your story, so tell it yourself. No one can write your story, so write it yourself.”

Ya, tentu saja, hanya kita sendiri yang tahu persis bagaimana alur kehidupan yang telah kita jalani. Ada juga kisah hidup yang ditulis oleh orang lain, yang disebut sebagai biografi. Tapi, hellow, siapa elu sehingga orang lain mau repot-repot nulis tentang diri lu? (maaf, pinjem bahasa gaul ala anak Jakarta, hehe). Jadi, mulailah dengan menulis kisah kita sendiri. Siapa tahu bermanfaat bagi orang lain, minimal bagi diri sendiri.

Oke, aku tahu terkadang, adakalanya kita merasa malu menulis tentang kisah hidup kita sendiri, dan lebih memilih menulis tentang imajinasi yang ada dalam pikiran kita. It’s OK. Itu kan pilihan masing-masing ya. Tapi, ijinkan aku bercerita sedikit tentang hal ini.

Rasa malu, takut, khawatir, tidak percaya diri, atau takut dikira sombong, pamer yang muncul dalam menuliskan kisah kita sendiri itu wajar. Aku juga pernah merasakannya. Lebih membuat tulisan yang bersifat umum saja, lalu penulisnya anonym. Hehehe. Aku pernah melewati fase itu. Lalu, perlahan mulai percaya diri menuliskan nama di setiap karya yang aku buat, dimulai dengan nama pena. Lalu, mulai mencoba menuliskan kisah hidupku sendiri. Awalnya private account, lama-lama di-setting public. Rasa yang muncul pada fase ini adalah rasa khawatir, takut dianggap ujub, riya, kemudian takut tulisannya disalahgunakan. Hingga akhirnya, aku pelan-pelan belajar melepaskan rasa itu. Beware of what you think. Hati-hati dengan apa yang kamu pikirkan, karena rasa adalah do’a mu.

Apa yang kamu pikirkan, bisa saja menjadi kenyataan. Maka, pelan-pelan saya belajar mengolah rasa untuk menjadi percaya diri dalam menuliskan kisah hidup, dan juga belajar bahwa pada dasarnya orang yang tidak kenal dengan kita, tidak berkepentingan dengan kita, tidak akan menelusuri hidup kita terlalu dalam, karena mereka sendiri tidak terlalu tertarik. Kecuali, jika mereka ada suatu urusan tertentu dengan diri kita. Karena, sejatinya masing-masing diri kita selalu lebih tertarik dengan diri kita sendiri.

Analoginya adalah sebuah foto bersama, missal dengan anggota keluarga, teman, kerabat, saudara, kolega, dan lain-lain. Jika kita melihat hasil cetakan foto, maka foto siapakah yang akan pertama kali kita amati? Otomatis adalah foto diri kita. Ya betul sekali. Karena setiap orang selalu tertarik dengan dirinya sendiri tanpa disadarinya. Kemudian, baru beralih ke foto orang terdekat yang berpengaruh dengan diri kita, missal, ayah atau ibu, anak, foto gebetan, teman baik, dan sebagainya.

Kita juga lebih mudah tertarik akan sesuatu hal yang sedang kita minati atau kita butuhkan saat itu. Maka terkadang, sering kita jumpai kalau orang yang mempunyai kesamaan hobi itu cenderung lebih mudah akrab bukan? Ya, karena mereka mempunyai kepentingan yang cenderung sama satu sama lain. Misal ada dua orang, satunya penyuka football, satunya penyuka badminton. Maka, pada bahasan topik ini, keduanya tidak akan nyambung dan tidak akan tertarik untuk saling bertukar pikiran satu sama lain. Tapi, ada satu hal dari dua orang ini yang sama-sama mereka sukai, yaitu mereka berdua adalah pecinta kopi sejati. Jadi, ketika sudah mulai membicarakan hal tentang kopi, macam-macam kopi, kafe tempat nongkrong yang paling bagus, maka dua orang ini punya rasa yang sama antara satu sama lain.

Begitulah, mengolah rasa dalam menulis atau berkarya pun harus step by step, tidak bisa sekaligus dalam suatu waktu ya. Yang penting terus berusaha untuk mencoba dan mencoba. Melepaskan ketakutan dan kekhawatiran atas penilaian orang lain terhadap tulisan yang kita buat. Selama itu tulisan yang baik dan bermanfaat, bukan tulisan yang isinya menghujat, kenapa tidak?

Menulis Tentang dan Untuk Keluarga Tercinta

Lalu, keluarga adalah alasan lain aku harus menulis. Aku ingin meninggalkan sesuatu untuk keluargaku kelak. Aku ingin tulisanku bisa menjadi jembatan penghubung antar generasi. Meskipun aku sudah tiada nantinya, harapannya, tulisanku bisa menajdi sumber inspirasi bagi generasi setelahku. 


 

Inspirasi ini kudapatkan dari novel Gadis Jeruk (The Orange Girl) karya Joostein Gaardner yang terbit pada tahun 2003. Novel ini bercerita tentang Georg, seorang pemuda usia 15 tahun yang mendapat sebuah surat yang diketik rapi oleh ayahnya yang sudah meninggal ketika ia berusia 4 tahun. Ayah Georg, Jan Olav yang seorang dokter menderita sebuah penyakit dan dia tahu bahwa umurnya tidak akan lama untuk bisa mendampingi anaknya tumbuh besar. Maka, ia memutuskan untuk menulis surat tentang kisah hidupnya, yaitu pertemuan dengan si Gadis Jeruk yang telah memikat hatinya, dan tulisan lain mengenai pengetahuan tentang Teleskop Hubble dan Ruang Angkasa.

Ayah Georg menyimpan surat yang diketiknya secara diam-diam di dalam kereta bayi milik Georg. Surat itu kemudian secara tidak sengaja ditemukan oleh nenek Georg saat sedang membersihkan kereta bayi milik Georg dulu. Ya, beruntunglah surat itu dapat ditemukan. Namun, pastilah Ayah Georg telah berdo’a sedemikian tulus agar surat itu bisa sampai kepada tangan yang tepat. Menegangkan, sekaligus mengharukan dan bikin penasaran novel yang satu ini.

Cerita serupa juga kutemukan pada novel karya anak bangsa yang telah diangkat ke layar lebar dengan hasil memuaskan berjudul Sabtu Bersama Bapak. Ya, hampir sama tentang seorang Ayah dengan dua anak laki-laki yang tahu bahwa usianya tak akan lama lagi, lalu memutuskan untuk membuat rekaman video untuk anak-anak dan istrinya. Ah, pokoknya begitu mengharukan deh. Bahwa dengan sebuah karya, kita masih bisa menghubungkan antara yang ada dan tiada. 

Tentang alasan menulis karena keluarga ini, karena aku sendiri mengalami sebuah pengalaman yang, yah bisa dibilang sebuah... entah, jujur aku kehilangan makna untuk menuliskannya. Jadi, ibuku sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Beliau meninggal tiga minggu kemudian setelah aku melahirkan anak pertamaku, alias cucu pertamanya (anak pertamaku lahir pada tanggal 8 November 2016 dan Ibuku meninggal di tanggal 25 November 2016 silam). Kematian ibu ini bisa dibilang sangat mendadak, dan sungguh mengejutkan semuanya, karena pada pagi harinya ibu masih sempat ikut upacara hari guru di sekolahnya (almh. Ibuku adalah seorang guru di Sekolah Menengah Pertama). Sebenarnya ibuku memang sudah sakit sejak lama dan sudah beberapa kali menjalani operasi mastektomi serta oleh dokter sudah divonis stadium IV. Tapi, aku dan keluarga tidak pernah menyangka secepat itu ibu akan pergi meninggalkan kami. Dan baik aku maupun adikku tidak ada yang mendampingi ibu saat beliau mengembuskan nafas terakhir karena kami berada di kota yang berbeda. Ya, begitulah bahwa kematian itu adalah misteri Ilahi. Hanya Tuhan yang tahu kapan waktunya.

Dan itu adalah sebuah peristiwa yang, entah aku masih belum bisa mendapatkan istilah yang tepat untuk menggambarkannya. Sebuah kematian dan kelahiran orang terdekat pada bulan yang sama. Aku yang saat itu menjadi seorang ibu baru harus meraba-raba belajar sendiri tentang mengasuh seorang bayi. Jujur, aku akan mengatakan bahwa aku tidak merasa terlalu dekat dengan ibuku, secara personal. Sembari belajar mengasuh bayi sendiri, aku mengemasi barang-barang pribadi milik ibu di rumah (pasca ibu meninggal, aku harus LDM dengan suami tercinta, pulang ke kampung halaman mengurus bapak yang tinggal seorang diri). Baju, buku, berkas-berkas pekerjaan ibu, dan barang-barang lainnya. Dan aku berusaha menemukan catatan ibuku tentang diriku. Tapi, hanya sedikit sekali yang bisa aku temukan. Entahlah, aku merasa… well.. ya, tidak ada catatan apapun tentang diriku yang personal. Hanya ada sedikit catatan tentang ibuku sendiri, itupun cerita semasa awal-awal pernikahan ibuku dengan bapakku. Lebih banyak berkas-berkas yang kutemukan tentang pekerjaan ibu. Kematian ibu pun meninggalkan sebuah bekas untukku, karena sejujurnya ada hal yang belum selesai antara ibu dan aku. Dan hal itu menjadi sebuah proses perjuangan dan pelajaran tersendiri bagiku yang akhirnya mengantarku pada beragam pembahasan tentang innerchild. Aku yang saat ini masih berusaha mencoba berdamai dengan masa laluku.

Maka, menulislah tentang dirimu, kisah hidupmu untuk diwariskan kepada generasi setelahmu. Kau boleh menulis tentang apa saja, imajinasi dalam pikiranmu, cerita-cerita keseharian, tapi sempatkanlah menulis tentang keluarga dan untuk keluarga. Sekarang, sudah banyak media yang menyediakan sarana bagi kita untuk menyimpan karya, mulai dari dua dimensi sampai tiga dimensi. Ada yang bisa di setting private dan juga public. Semua bisa di atur. Kenapa harus menulis di social media? Karena social media adalah tempat penyimpanan data terbaik sepanjang masa, yang tentunya akan semakin berkembang seiring jaman. 

Pesan yang kudapat dari salah seorang guru ngajiku pun semakin menguatkanku, bahwa aku harus memulainya sekarang. Menulis tentang diriku, proses perjalanan hidupku, dan tentang keluargaku.

WARISAN

"Warisan terpenting bagi anak cucumu adalah sejarah hidupmu."

"Sejarah yang kamu tulis akan menjadi bacaan abadi bagi anak cucumu."

-Pak Mustamir Pedak- @ngajibahagia


Menulis untuk Turut Serta Memberi Manfaat bagi Umat Masyarakat

Kemudian, alasan lain mengapa aku menulis adalah aku ingin memberikan kontribusi karya bagi umat masyarakat. Sebagaimana perkataan sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006)

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Sebagai seorang penulis, tentunya aku ingin menerbitkan buku sendiri. Buku yang murni dari hasil karya pemikiranku sendiri. Sejauh ini, sebenarnya aku sudah punya beberapa draft atau kerangka rencana sebuah buku, mulai dari judulnya, daftar isinya. Namun, sayangnya sampai kini draft itu masih utuh tetap berbentuk draft buku saja, belum mengalami kemajuan yang signifikan. Dan nampaknya aku butuh bantuan. Salah satu usaha yang kulakukan sekarang adalah mencoba kembali ke dalam lingkaran komunitas menulis agar bisa tersemangati kembali untuk merampungkan naskah-naskahku.

Menulis sebagai Ungkapan Rasa Syukur atas Anugerah Tuhan

Kemudian, yang terakhir. Alasan mengapa aku menulis adalah tentu saja sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah yang telah diberikannya kepadaku, hingga aku dapat berkarya dengan mudah. Aku merasa terlahir dengan bakat menulis (kemampuan lebih di bidang bahasa), maka seharusnya aku bisa turut andil mewarnai perjalanan peradaban ini dengan kekuatan kata-kata.

Seperti yang dikatakan oleh seorang Ulama sekaligus penyair dari Mesir, Sayyid Quthb (1906 – 1966), bahwa

“satu peluru hanya mampu menembus satu kepala. Tapi, satu tulisan mampu menembus ribuan dan bahkan jutaan kepala.”

Sungguh dahsyat kan makna dari sebuah kutipan beliau itu? Masya Allah..

Nah, aku jadi teringat sebuah kisah yang pernah di share oleh guru ngajiku di Grup WhatsApp. Aku salin saja kisahnya disini sebagai pengingat dan penyemangat ya.

 Kekuatan Kata-Kata

(Saya nukil dari buku tulisan Robert Frager berjudul Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony. Robert Frager adalah seorang guru sufi dan guru besar psikologi di Institute of Tranpersonal Psychology, California).

Seorang pria kaya dan terhormat mengundang beberapa tamu penting pada sebuah jamuan makan malam, termasuk seorang syekh yang terkenal dengan kemampuan menyembuhkan, dan juga seorang menteri kesehatan, yakni seorang dokter jenius yang memperoleh pendidikan di luar negeri.

Setelah selesai makan malam, putri sang tuan rumah tetiba merasa pusing dan harus dibaringkan di atas tempat tidur. Tuan rumah meminta sang syekh berdoa untuk sang putri. Sang syekh pun mengucapkan doa memohon kesembuhan.

Hal ini membuat kesal menteri kesehatan, yang kemudian menggerutu bahwa kata-kata doa semacam itu tidaklah berguna. "Zaman sekarang kita memiliki vitamin, obat-obatan modern, dan cara ilmiah lainnya untuk menyembuhkan penyakit. Doa semacam itu hanyalah kata-kata yang tidak berguna dan menghambat kemajuan!"

Sang syekh menoleh kepada sang menteri dan berkata, "Aku merasa aneh, mengapa orang bodoh seperti ini bisa menjadi seorang dokter bahkan terpilih jadi menteri kesehatan." Sang menteri menjadi kalap dan marah. Wajahnya merah padam.

Lalu dengan nada suara yang lembut dan sopan, sang syekh segera berkata, "Tuan Menteri, maafkan saya. Saya mengucapkan kata-kata hinaan tadi karena ingin menjelaskan sesuatu. Lihatlah bagaimana wajah Anda menjadi merah, pembuluh darah Anda melebar, jantung Anda berdegup kencang, dan laju adrenalin Anda meningkat. Semua itu hanya disebabkan oleh kata-kata. Jika kata-kata duniawi dapat menyebabkan perubahan fisik seperti itu maka bagaimana dengan kata-kata-Nya di dalam Kitab Suci?" (ditulis oleh Pak Mustamir Pedak)

 

Bagaimana kisah di atas? Menohok sekali bukan? Ya, itulah yang saya rasakan setelah membaca kisah di atas. Menohok diri sampai ke ulu hati. MasyaAllah. Maka, Rasulullah pernah memberikan sabda kepada sahabatnya, “berkatalah yang baik, atau diam”

Sedangkan dalam Firman Allah pada Surat ke 50 (QS. Qaf) ayat ke 18 disebutkan: “tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”

Maknanya, bagi diriku sendiri, keseluruhan kisah dan kutipan hadist maupun ayat di atas mengisyaratkan bahwa dalam berucap baik secara lisan maupun tulisan pun kita perlu berilmu, alias tidak asal ucap atau tidak asal tulis saja. Kita butuh belajar untuk bisa berucap dengan sopan dan santun, dan kita butuh illmu agar bisa menghasilkan tulisan yang baik, benar dan bernas. Begitulah serangkaian hidup kita yang baik adalah didapat dari proses pembelajaran yang kita lakukan. Jadi, salah satu tanda kesyukuranku atas anugerah-Nya adalah berusaha untuk senantiasa konsisten menuliskan hal-hal yang bermanfaat dan juga terus belajar tentang ilmu-ilmu dalam dunia kepenulisan agar tulisanku tentunya bisa menjadi tulisan yang semakin enak dan nyaman dibaca.

Semoga Allah meridhoi langkah kakiku atas apa yang sedang aku upayakan ini. Menjadi seorang penulis yang senantiasa bisa produktif untuk menulis bermakna yang berdaya guna bagi umat masyarakat dan keluarga. Aamiin.. aaamin ya rabbal ‘alamiyna.

Sebagai penutup, aku rangkum lagi secara singkat disini kenapa aku menulis:

  1. Karena aku ingin menjadi seorang penulis yang senantiasa bisa konsisten menulis bermakna setiap hari. (a professional writer is an amateur who didn’t quit” –Ricard Bach-)
  2. Menuangkan ide yang melintas di dalam kepalaku, gagasan yang tertangkap oleh panca inderaku menjadi sebuah naskah utuh yang dapat dinikmati oleh para pembaca. (“An idea is never given to you without you being given the power to make it reality. You must, nevertheless, suffer for it.” In a simple way, we can say, “Whenever you have an idea you also have the power to make it reality. Still you also have to suffer to do that.” –Wikiquote by Ricard Baach)
  3. Merekam kisah perjalanan hidup sendiri, momen berkesan yang telah dilalui (“No one can tell your story, so tell it yourself. No one can write your story, so write it yourself” -Yenita Anggraini-www.blaclazy.com)
  4. Menulis tentang dan untuk keluarga, sebagai jembatan penghubung antar generasi, antara yang ada dan tiada (Inspirasi dari novel Gadis Jeruk karya Joostein Gaarder, dan novel anak bangsa yang telah diangkat ke layar lebar, Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya. Pesan dari guru ngajiku tentang warisan yang paling berharga. "Warisan terpenting bagi anak cucumu adalah sejarah hidupmu. Sejarah yang kamu tulis akan menjadi bacaan abadi bagi anak cucumu" -Mustamir Pedak-)
  5. Meninggalkan catatan dan karya yang bermanfaat bagi umat (“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” – Pramoedya Ananta Toer)
  6. Mensyukuri potensi yang telah diberikan oleh Tuhan atas kemampuan menulis yang aku miliki, sebuah anugerah untuk merangkai kata-kata menjadi sebuah tulisan yang bermakna (“satu peluru hanya mampu menembus satu kepala. Tapi, satu tulisan mampu menembus ribuan dan bahkan jutaan kepala” -Sayyid Quthb-)

 Demikian dariku, semoga bermanfaat bagi yang telah membaca. Terima kasih semua.

 

#Day2 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay1 #30DWCJilid26Squad2Day1 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Aku Menulis