Anak-anak dan Dunia Imajinasi

Mengapa ya anak-anak kelihatan tak pernah bosan? Selalu bersemangat  dan penuh energi dalam menjalani hari?

Hmm.. iya juga ya. Kenapa?

Anak-anak itu cenderung aktif bergerak. Semakin muda usianya, dia semakin aktif bergerak.

Bagi mereka semua yang nampak di depan mata, yang mereka temui itu adalah hal baru, yang pada definisi mereka, semua hal baru itu berarti sesuatu hal yang menyenangkan.

Dan tetiba saja, entah kenapa aku teringat sebuah pengalaman yang dituturkan oleh salah seorang Ustadzah senior yang cukup terkenal di kotaku ini, kota Semarang. Namanya Ustadzah D. Teman-teman mengajiku juga ustadzahku yang lain seringkali cerita, Ustadzah D ini rumahnya selalu rapi setiap harinya walau tidak ada asisten rumah tangga di rumahnya. Hal itu sesuai yang dituturkan oleh para tetangganya. “Kami nggak pernah melihat rumah Ustadzah D terlihat berantakan walau beliau punya 7 orang anak.”

Pada suatu kesempatan, aku dan teman-temanku berkunjung ke rumah beliau. Ternyata orangnya ramah sekali dan menyenangkan. Tipe sanguinis dan orang yang pintar mengolah kata dengan lisan alias tipe pembicara publik, beda 180 derajat dengan aku yang hanya piawai merangkai kata dengan pena.

Beliau memberikan nasehat dengan sedikit lelucon hingga membuat kami terhibur. Meskipun begitu, nasehat yang diberikan sangat membekas di hati. Kemudian, salah seorang teman ada yang bertanya tentang manajemen waktu beliau.

Aku masih ingat kata beliau. Ya, tidak ingat persis apa yang beliau ucapkan, karena perjumpaan itu sudah bertahun-tahun yang lampau tapi kurang lebih begini ya intinya, aku tulis dengan kata-kataku sendiri.

Selesaikan apa yang harus diselesaikan hari ini. Jangan ditinggal tidur kalau belum selesai. Saya terbiasa mengajari anak-anak untuk merapikan barang-barang mereka, terutama anak yang besar yang memang sudah bisa diberi tanggung jawab. Kalau anak yang kecil, ya saya sesuaikan dengan usia mereka. Tapi buat saya sendiri, saya belum akan tidur kalau belum membereskan to do list saya hari ini.

Dibuat enjoy dan santai, gitu loh. Niat karena Allah. Bukankah mengurus rumah bagi seorang ibu rumah tangga pahalanya sama kaya pergi perang? Beresin cucian. Dor, bayangkan seperti kita menghabisi satu musuh. Lanjut setrika baju sampai selesai. Dor, satu musuh lagi tewas di tangan kita. Masya Allah, kami pun tergelak mendengar apa yang beliau sampaikan. Lalu, beliau melanjutkan lagi.

Yang semangat kalau ngerjain sesuatu. Walaupun hanya sesuatu yang sepele. Misal, menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering yang gugur. Ya, ambil sapu lidi. Berdo’a, niatkan semua apa yang kita lakukan karena Allah semata. Lalu, menyapulah denagn penuh semangat sehingga orang yang melihat kita jadi ikut semangat. Bukan bermaksud riya atau pamer ya. Tapi, orang yang lihat jadi kutan semangat. “Eh, Bu A kok semangat sekali ya menyapunya, saya kok jadi kepengen ikutan menyapu atau bersih-bersih halaman,” kata Ustadzah D mengambil salah satu nama kami sebagai contoh.

Itulah pesan beliau yang masih teringat di kepalaku sampai sekarang. Intinya, tularkan semangat. Jangan loyo, lesu. Masa jadi muslimah kok malesan. Calon ibu loh. Pencetak generasi tangguh masa depan. Lha, kalau cetakannya sudah loyo, malesan, gimana dengan hasil cetakannya nanti?

Duh, rasanya kaya tertampar tampar deh dengernya pokoknya. Ya, optimisme itu menular. Bener kan? Coba saja kalau kita deket sama temen yang semangat banget hawanya, rasanya mau jadi orang yang suka ngeluh, loyo kok malu ya. Makanya, bergabung dengan komunitas atau kumpulan orang-orang yang positif dan open minded itu perlu banget dalam hidup ini.

Jadi, buatlah imajinasi yang menyenangkan dalam pikiran kita. Karena, betul sekali segala sesuatu bersumber dari pikiran kita. You are what you think. So, beware of your mind. Begitu bunyi kutipan yang mungkin sudah sangat sering kita dengar.

Lalu, apa hubungan kisah ini dengan pertanyaan yang aku lontarkan di awal tulisan? Kuncinya adalah pada imajinasi dalam pikiran seseorang.

Jadi, mengapa anak-anak itu aktif, tidak pernah bosan? Karena jiwanya masih penuh dengan stok imajinasi yang murni, belum ternodai oleh ambisi-ambisi dunia yang begitu penuh tipu daya.

Setiap jiwa yang terlahir ke dunia ini insyaAllah fitrahnya baik. Mereka membawa bibit-bibit yang baik. Termasuk stok imajinasi dalam pikiran mereka yang melimpah ruah. 

Mobil Kardus yang Bikin Bahagia
Mobil Kardus yang Bikin Bahagia
 

Anak kecil itu, hanya dengan benda-benda sederhana di sekeliling mereka sudah bisa bahagia dengan leluasa. Semua mereka bisa sulap dalam pikiran mereka. Tudung saji jadi perahu. Pelepah pisang jadi tembakan. Dandang emak jadi drum tabuhan, sumpit makan jadi stik drum. Keset jadi karpet terbang, kardus jadi mobil-mobilan. Sesederhana itu mereka. Orang dewasalah yang sering repot.

 

Mobil Balap, Cukup Pakai Meja dan Baskom Saja Sudah Bikin Bahagia Tak Terkira

Lalu, semakin dewasa, kemana stok imajinasi yang meimpah ruah itu?

Jawabannya saya temukan sendiri ketika menemani dan mengamati anak-anak beraktifitas di rumah. Lingkunganlah yang mengikis stok imajinasi mereka yang melimpah ruah.

Saat ini, anak saya yang berusia 4 tahun sedang senang bermain bersama temannya. Alhamdulillah tetangga saya ada yang punya anak perempuan juga dengan usia yang sama, tepatnya hanya terpaut beberapa bulan saja. Mereka hampir setiap hari bermain bersama dengan gembira, dan tak pernah kehabisan bahan permaianan. Ya, akadalanya menangis, minta jajan, kadang bertengkar, tapi lalu baikan kembali. Begitulah dunia anak-anak, bukan?

Mobilnya Isi Bensin dulu yaa...

 Suatu sore, mereka bermain berdua di teras rumah. Terlihat gembira. Saya mengamati diam-diam dari jendela kamar, ternyata mereka bermain mobil-mobilan pakai kardus. Mira, teman si Kakak Haya (anak saya), memakai kardus dan menirukan suara mobil polisi, “wiuu…wiuu…” lalu dia berkata pada Kakak, “Pak, sepertinya bensinnya mau habis nih,”

“Ayo kita isi,” kata Kakak Haya pada temannya. Lalu mereka pergi ke pojokan teras dimana terpasang selang pada keran air. Kakak Haya menarik selang dan mendekatkannya ke kardus, berpura-pura seperti orang mengisi bensin. masyaAllah, mereka terlihat asyik dan bahagia sekali bermain berdua. Sesekali tertawa cekikikan bersama. Ah, bahagia itu memang sederhana ya Nak.

Nah, itulah stok imajinasi yang melimpah ruah di kepala anak-anak yang jiwanya masih murni. Mereka mencoba segala sesuatunya dengan bahagia, lepas tanpa suatu beban apapun.

Itu adalah cerita bahagia tentang imajinasi anak-anak.

Lalu, apa ada cerita tidak bahagianya?

Oke, baiklah. Ada satu peristiwa ini.

Pagar Tembok di Teras Rumah

 Di teras rumah saya ada pagar tembok setinggi sekitar 1 meter, yang disambung dengan pagar besi. Pagar tembok itu bisa buat tempat duduk-duduk santai di depan rumah.

Kadang-kadang, anak-anak lelaki dekat rumah seringkali duduk-duduk di situ. Biasanya, saat mereka bermain bola di jalanan depan rumah yang memang lumayan sepi. Anak yang lebih kecil, termasuk anakku dan temannya, tentu saja ingin ikut duduk juga di pagar tembok itu. Tapi, tentu saja belum boleh. Dan hal ini menimbulkan rasa penasaran mereka.

Suatu sore, saat Kakak dan temannya bermain di teras, mereka sedang tertarik untuk mencoba memanjat pagar tembok lagi. Kakak dengan antusias memberi tahu saya, “Bunda..Bunda.. lihat nih, Kakak udah bisa panjat-panjat tembok,” katanya bernada bangga.

“Oh ya,” kata saya sambil tersenyum. Lalu, ia menunjukkan pada saya bagaimana aksinya menjoba memanjat tembok itu. Ya, tentu saja belum bisa sampai duduk di atasnya, tapi dia sudah berhasil mengangkat badannya sebentar di atas pagar.

Jujur, aku sedikit khawatir juga, tapi aku hanya bilang, “Hati-hati ya, Kak,” tentu saja sambil awas mengawasi dari jarak aman. Aku berusaha menepis rasa khawatir agar tidak bertambah besar, karena selama ini aku telah belajar bahwa, you are what you think. Jadi, mencoba tetap tenang, atas hal-hal yang menantang yang kadang dilakukan oleh anak.

Tapi, tak lama kemudian, lewatlah seorang tetangga kompleks berusia separuh baya yang lalu berteriak-teriak.

“Eee…ee.. Nak, awas, bahaya.. bahaya… turun ya… turun. Jangan panjat-panjat tembok lagi.”

Kakak pun setengah kaget atas teguran yang datang tiba-tiba begitupun diriku. Ia pun segera mengentikan aksinya.

Tetangga itu pun segera berlalu. Ya, aku tidak begitu kenal dengan orang yang lewat barusan, tapi aku tahu ia tetangga komplek sini. Ia menggumam pada dirinya sendiri tapi masih bisa kutangkap dengan telinga. “Gimana sih ibunya, anake manjat-manjat kok dibiarin aja…”

Aku pun hanya menghela nafas mendengarnya. Dan kini kutahu, salah satu faktor terkikisnya imajinasi yang melimpah ruah di kepala anak. Seketika itu juga aku teringat sebuah stiker yang kutempelkan di pintu kulkas, yang kudapat saat salah satu acara Seminar oleh Komunitas Ibu Profesional.

“It takes a village to raise a child”

Awalnya aku tak terlalu paham apa maknanya dibalik kutipan itu. Tapi, akhirnya lama-lama pun aku mengerti dengan sendirinya. Ketika orang tua anak berusaha menerapkan prinsip A, B dan C di dalam rumah, ternyata dalam lingkungan masyarakat si anak menemukan prinsip A, B, X atau A, X dan Z maka bisa jadi anak menjadi bingung. Belum lagi adanya pelabelan di dalam masyarakat, bahwa kalau begini ya harusnya begitu. Seharusnya tidak begini tapi begitu. Bisa jadi hal itu membuat terkikis ruang imajinasi di dalam pikiran dan jiwa anak-anak yang semakin hari tumbuh menjadi manusia dewasa. 

"Eeh...nak, kok nggak pakai sandal tho?  nanti kakinya kotor lhoo.."

"Kok mainan pasir tho? Hiyy.. nanti ada kotoran kucing lho disitu?"

"Nggak usah lari-larian ya, nanti jatuh!"

Lalu, apa sih yang seharusnya dilakukan oleh anak-anak itu?

Begitulah, ternyata kuncinya ada pada ruang imajinasi di dalam kepala kita. Kalau istilah kerennya disebut dengan mindset alias pola pikir yang ada dalam kepala seseorang. Pola pikir itulah yang kemudian akan membentuk karakter seseorang. MasyaAllah, sungguh betapa ilmu Allah itu luar biasa dahsyat.

source taken from instagram @library4success


 

Membangun mindset yang baik dan benar sesuai dengan tujuan hidup kita, serta tetap merawat stok imajinasi yang ada di dalam kepala kita agar kita tak mudah menjadi pribadi yang cepat bosan dan putus asa ketika menghadapi sebuah tantangan yang ada di depan mata.

Hey, kemudian aku menyadari bahwa, kelas menulis yang sekarang sedang aku ikuti ini adalah buah dari imajinasi mentorku sekaligus founder kelas 30DWC ini, Kak Rezky Firmansyah. Lihat saja namanya, Empire of Writer dan beberapa istilah yang digunakan, ada guardian, squad, fighter, controller... ya aku baru sadar bahwa beliau berusaha membangun imajinasi kami agar kami bisa bertahan sebagai seorang Fighter dalam kelas menulis ini. Bertahan menulis selama 30 hari tanpa henti, tanpa nanti.



#Day4 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay4 #30DWCJilid26Squad2Day4 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daya Juang Seseorang

Teknik Marinasi ala Chef Rudy (Bag. 1)