Pasukan Putih Berhati Mulia

Kami berdiri berdesakan di ruang tertutup yang berbentuk bundar dengan tutup melengkung seperti kubah. Suhu ruangan itu dijaga agar kami tetap hangat. Suhu yang menjaga performa kami mengundang decak kagum saat tampil nanti.

Sekali dua kali Ibu Komandan Besar mengunjungi kami di ruangan tertutup itu, biasanya pada jam-jam tertentu dan akan ada serombongan pasukan yang mengikuti dibelakangnya.

Aku masih jua berada di ruangan tertutup itu. Sejak pagi aku masuk bersama rombonganku, namun aku belum beruntung untuk ikut menemani Ibu Komandan Besar.

"Sabar, nanti giliranmu pasti juga tiba." Aku mendengar seseorang berkata di belakangku. Rupanya ia menjawab keluhan teman di sampingnya itu tentang kapan giliran mereka tampil.

Ruangan ini bising oleh percakapan. Tidak ada aturan khusus saat kau berada di ruangan ini.  Ruang ini adalah ruang tunggu dimana kau bebas melakukan apa saja. Satu hal yang pasti, tidak boleh membuat keributan dan saat giliranmu tiba nanti, kau harus siap sedia.

Namun, sejak siang tadi hingga sore menjelang petang, Ibu Komandan Besar tak jua datang berkunjung. Satu, dua, beberapa diantara kami mulai cemas. Apakah kami tak jadi tampil hari ini? Bisik-bisik tetangga ada yang mengatakan, jika mereka tak tampil hari ini, kemungkinan besok pagi. Ah, kalau begitu, sungguh tak menyenangkan menunggu hingga esok hari. Lagipula, performa kami pun tentunya tak akan sebaik hari ini.

Sungguh, menunggu itu memang aktifitas yang paling tidak mengenakkan di dunia ini. Apalagi menunggu tanpa kepastian. Tapi akhirnya, penantian kami berakhir sudah ketika Ibu Komandan Besar akhirnya tiba. Dia tersenyum lebar melihat kami, yang sudah menantinya dengan setia.

Ibu Komandan Besar mengatur rombongan pertama dengan sebaik-baiknya, memastikan tidak ada yang tertinggal atau tercecer. Kemudian, dia kembali mengatur rombongan kedua. Aku bersorak-sorai senang dalam hati. Akhirnya, giliranku tampil bersama teman-teman rombonganku pun tiba. Semoga penampilan kami tidak mengecewakan.

Kali ini, kami berduet dengan pasukan rambut kribo berwarna hijau dan pasukan papan berkulit cokelat yang terkenal amat sopan. Dan hey, itu dia yang katanya dibilang kembaran kami. Sama-sama pasukan putih, tapi mereka sangat berisik dan kadang tak tahu aturan. Tapi Ibu dan Pak Komandan sangat menyukai mereka. Baiklah, bagaimanapun juga, kami tahu diri. Dengan siapapun kami tampil, kami tetap harus berusaha memberikan yang terbaik.

“Yah, makan malam sudah siap,” Ibu Komandan Besar berkata pada Pak Komandan Besar yang masih asyik dengan gawainya.

“Wah, masak apa sore ini, Mah?” tanya Pak Komandan Besar sembari beranjak mendekat.

“Kesukaan bos kecil,” jawab Bu Komandan Besar singkat sambil tersenyum.

“Ter-bha-iq,” Pak Komandan Besar menanggapi sambil mencomot sebuah tempe goreng yang masih hangat.

“Wah, ada kerupuk ternyata,” kata Pak Komandan begitu pandangannya tertumbuk pada pasukan putih yang terkenal berisik yang menunggu giliran tak sabaran untuk tampil. Mereka suka menjerit dan berteriak tak keruan ketika mendapat kesempatan di atas pentas.

Begitulah menu sederhana keluarga kecil komandan sore ini. Nasi putih hangat, tumis brokoli, tempe goreng plus kerupuk ikan tengiri. Sungguh sebuah pertunjukan yang amat membahagiakan bagi lambung yang sedang sedih menanti datangnya kawan berbagi cerita setelah setengah hari duduk menyendiri.

Ah, betapa menyenangkan ketika kita bisa memberi arti dalam kehidupan ini, meskipun dalam tempo yang singkat. Begitulah pertunjukan kami berakhir, setelah penantian selama hampir seharian penuh.

 

Catatan:

Tulisan ini dibuat tahun kapan dan diselesaikan tahun kapan. Hehehe, jadi mohon maklum kalau isinya agak wagu.

Well, aku tahu, naskah terbaik adalah naskah yang selesai ditulis. Selama ini, naskahku kebanyakan hampir selalu menggantung entah tak jelas kemana ujungnya.

Jadi, ayo mulai berlatih lagi. Selesaikan apa yang sudah dimulai.

Baiklah. Ayo semangat!

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Aku Menulis