Kesempatan yang Hilang

Baiklah, aku akan segera menuliskan tentang kesempatan yang hilang ini, sebuah gagasan yang pernah mampir dalam benakku dan kini hadir kembali, sebelum ia menghilang tanpa jejak (baca: aku kehilangan rasa untuk menuliskannya kembali).

Kesempatan yang ada hanya datang satu kali. Jangan sia-siakan kesempatan apapun yang datang menghampiri kita. Ambil dulu, pikir belakangan (intinya, jangan kebanyakan mikir atau pertimbangan). Begitulah peribahasa yang mungkin sudah sering kita dengar di masyarakat, dan aku meyakininya. Namun sayangnya, terkadang menjalankan apa yang kita yakini di lapangan tak semudah mengucapkannya.

Ya, aku pernah mengalaminya. Beberapa kali malah. Melewatkan kesempatan yang datang kepadaku dan tentu saja akhirnya aku menyesalinya. Merutuki diriku sendiri kenapa banyak berfikir atau pertimbangan. Well, sesal itu berasa sesak di dada ini, kemudian berikrar janji kembali besok-besok tak akan pernah lagi melewatkan kesempatan yang datang menghampiri.

Namun, apa daya? Ketika lagi-lagi aku melewatkan kesempatan yang datang menghampiriku dan aku melewatkannya. Setelah itu, menyesal seperti biasa. Ya, kesempatan yang datang kepada kita adakalanya hanya mampir sepersekian detik, memaksa kita tanpa banyak berfikir atau menimbang-nimbang untuk segera mengambil tindakan.

Just do it. “Take action, and miracle will happen,” begitu kata salah seorang dosen saya yang mengaklamasikan dirinya sendiri sebagai seorang motivator. Intinya adalah segera bertindak, raih kesempatan yang ada di depan mata tanpa pikir panjang lagi. Namun lagi-lagi, fakta di lapangan tak semudah ucapan yang dilisankan. Lagi-lagi, dalam hal yang kelihatannya sepele dan remeh temeh ini aku sendiri merasa aku harus lebih banyak latihan lagi.

Orang akan lebih menyesal akan sesuatu hal yang belum pernah ia lakukan, daripada orang yang sudah pernah mencoba tetapi gagal, begitu peribahasa yang pernah kudengar entah darimana asalnya dan aku pun membenarkannya. Orang yang belum pernah mencoba sesuatu yang diinginkannya akan merasa lebih menyesal dalam hidupnya 2x lipat daripada orang yang pernah mencoba sesuatu namun ia gagal dalam percobaaannya itu. Ya, hikmahnya, sudah tidak penasaran lagi, hihihi… walaupun gagal, setidaknya sudah pernah mencoba, bukan?

Nah, beberapa kesempatan yang hilang atau terlewat dalam hidupku itu biasanya momen-momen yang berkaitan dengan para penjual atau pedagang. Ya, intinya, seseorang yang menjual sesuatu barang.

Di pasar tradisional, misalnya, tempat dimana para pedagang berkumpul dan transaksi jual beli terjadi. Dinamakan pasar tradisional, karena ya pasar ini cara berjualannya masih mengikut cara berjualan orang sejak jaman dahulu, tidak ada perubahan yang berarti sampai sekarang. Penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli secara langsung di lapak penjual, adakalanya terjadi aktifitas tawar menawar. Selain itu, antara pembeli yang satu dengan yang lain, penjual bisa sesuka hati menerapkan harga yang berbeda, ya karena ada kedekatan personal, misalnya. Berbeda dengan pasar modern, dimana semua transaksi belanja dilakukan secara terpusat di kasir karena harga barang yang dijual sudah merupakan harga pas sesuai yang tertera di barcode, tidak bisa ditawar lagi.

Nah, ada pepatah lama bilang, bahwa kalau berbelanja di pasar tradisional, harus pintar-pintar menawar barang. Nggak afdal rasanya kalau belanja di pasar tradisional nggak pakai menawar harga barang yang diberikan oleh penjual. Malah dalam hal ini, ada orang yang berbangga hati karena dia itu merasa pintar menawar. Kalau tawar menawar barang, pasti dapat sesuai harga yang diinginkannya, nggak peduli bagaimana dengan penjualnya, yang penting misinya untuk mendapat harga semurah-murahnya bisa tercapai. Ya, itulah tujuan melakukan penawaran barang, untuk mendapat harga semurah-murahnya, bukan begitu?

Awalnya, aku pun termakan dengan pepatah yang entah dari mana sumbernya itu, kalau ke pasar tradisional, nggak afdal rasanya kalau nggak melakukan tawar menawar barang. Walaupun pada akhirnya terkadang kita nggak mendapat harga yang sesuai dengan apa yang kita inginkan, tapi yang jelas, ada perasaan puas karena sudah melakukan tawar menawar harga dengan sang penjual. Jujur, sebenarnya aku sendiri kurang cakap dalam menawar barang. Berbeda dengan almh. Ibuku yang dulu amat lihai dalam menawar. Ya, bagitulah, kaum hawa alias emak-emak biasanya memang lebih jago menawar daripada bapak-bapak. Ya, sudah fitrahnya juga kali ya. Menurutku, bapak-bapak sebenarnya bukan tidak jago menawar, tapi terkadang mereka enggan merasa ribet dengan prosesi tawar menawar itu sendiri, yang kadang memakan waktu dalam berbelanja. Kalau ada jalan yang praktis, kenapa sih dibuat repot? Begitu pikir bapak-bapak. Ambil barang, cek harga, tinggal bayar, selesai. Itulah mungkin definisi belanja bagi kaum lelaki, hihihi. Intinya, mendapatkan barang sesuai dengan apa yang memang ingin dibeli, berbeda dengan para emak yang masih tetep kekeuh untuk mendapatkan barang yang ingin dibeli dengan harga yang sesuai dengan keinginan mereka, hehehe.

Mengenai harga suatu barang ini, insyaAllah akan aku coba kupas di tulisan yang lain ya, tunggu saja. Sekarang kembali kepada kesempatan yang hilang. Nah biasanya, ketika aku selesai menawar dan terkadang mendapat harga yang sesuai dengan keinginanku, ada perasaan menyesal yang timbul dalam diriku. Kenapa sih tadi kok pakai menawar segala? Lagian, selisih harga tawarannya juga nggak seberapa kok. Kasihan penjualnya, dan beberapa alasan penyesalan lainnya.

Aku pun merenung, bertanya-tanya pada diriku sendiri. Wait, apa alasanku melakukan hal ini? dan seketika aku tersadar, bahwa sebenarnya aku telah termakan dogma yang sungguh menyesatkan bahwa “kalau belanja di pasar tradisional dan semacamnya (dimana penjual dan pembeli melakukan transaksi secara langsung), nggak afdal rasanya kalau nggak nawar. Gubrak, serasa ada yang menohok di ulu hatiku. Olalaa, alasan macam apa ini. aku pun akhirnya tersadar dan segera insyaf. Benar saja, niatnya sudah salah, maka yang timbul adalah sebuah penyesalan.

Jujur saja aku melakukan perenungan ini sekian lama, dan baru benar-benar tersadar ketika aku sendiri mulai mencoba menjadi seorang pedagang di era digital ini dimana transaksi jual beli dilakukan secara online. Menjadi seorang seller online shop. Ya, begitulah terkadang, pengalaman yang didapat sendiri memang terasa amat berharga sekali walaupun orang bilang pengalaman orang lain juga tak kalah berharga, tapi tentu saja sensasinya jauh berbeda ketika kita mengalaminya secara langsung.

Jadi, mulai sekarang aku mencoba mengubahnya, ketika aku berbelanja di pasar tradisional, niat yang kupasang adalah berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Well, membahagiakan pedagang itu salah satu dari kebaikan, bukan? Apa yang membuat pedagang itu bahagia? Ini jawaban yang kudapat setelah berpengalaman sendiri menjadi seorang pedagang mainan anak-anak, yaitu: barang dagangannya diborong dalam jumlah kecil maupun besar apalagi sampai ludes tak bersisa, mendapat pembeli yang baik hati tidak cerewet (apalagi  yang judes nggak ketulungan, suka nawar, tanya ini itu, eh endingnya nggak jadi beli, huhuhu), mendapat pembeli yang gampangan, tak ribet untuk menawar, mendapat bonus dari pembeli (simpan saja uang kembaliannya…) aha!

Begitulah. Jadi, aku mencoba melatih diri untuk tidak banyak menawar harga ketika membeli barang di pasar tradisional. Ya, seperlunya saja. Tidak perlu pakai ngotot atau adu argumen, “di toko sebelah sana harganya nggak semahal ini,” lah ngapain beli disini kalau di toko sebelah harganya lebih miring daripada yang disini? Hihihi…

Kesempatan lain yang hilang adalah saat berjumpa dengan pedagang yang lewat dan menawarkan barang dagangannya, biasanya saat sedang di rumah. Ketika ada pedagang yang lewas pas di depan rumah, dan kebetulan aku pas berada di depan rumah dan melihat pedagang itu lewat. Eh, sebenarnya bukan kebetulan namanya, kan aku sendiri pernah bilang bahwa tidak ada yanag namanya kebetulan. Pas pedagang itu lewat dan pas aku sedang berada di depan/ teras rumah, itu namanya scenario dari Allah Sang Maha Pembuat Skenario terbaik. Pilihannya ada di tanganku, kembali kepada diriku, mau mengambil peran yang mana? Peran hamba yang baik, membeli barang dagangan atau peran antagonis, menolak dengan halus, dengan bebagai alasan di kepala, lagi nggak butuh barangnya, nanti kalau beli jadi tuman, datang kesini lagi, mekso nawarin barang.. atau tetap membeli karena rasa kasihan atau iba (menurutku ini termasuk hal yang … entahlah, katanya jangan membeli karena rasa kasihan. Belilah karena alasan lainnya…, missal hargai perjuangannya yang tetap semangat berjualan di usia senja, misalnya.)

Beberapa kali aku menolak pedagang yang lewat di depan rumah, dengan alasan tidak butuh, terkadang masih ada kekhawatiran kalau ntar jadi tuman. Lalu, setelahnya terkadang aku sedikit menyesal. Ada satu momen dimana ada seorang ibu yang dibonceng dengan motor oleh seorang bapak, yang sepertinya suaminya dan si bapak menggendong seorang anak bayi berusia 1 tahunan. Mereka sepertiny satu keluarga dan pada waktu itu akupun menolah barang dagangan yang ditawarkan olehnya, pisang cokelat. Malamnya, anakku yang masih berusia belum genap 4 tahun menanyakan perihal ini kepadaku, kenapa kok kalau ada orang lewat Bunda bilangnya mboten? Duuh Gusti, ampunilah hambaMu ini.

Momen lainnya pas sedang dalam perjalanan, di lampu merah, di pinggir jalan. Entah bagaimana aku sampai sekarang belum bisa mengelola momen-momen ini karena nyatanya sampai sekarang aku masih merasa menyesal ketika tidak (jadi) membeli barang dagangan yang mereka tawarkan. Ya, tidak semua pedagang. Ada juga yang memang kutolak karena kesadaran penuh, karena pedagangnya sungguh menyebalkan, misalnya. Terus membuntuti kemana aku pergi. Sungguh mengganggu, bukan? Kesopanan adalah bagian dari etika berdagang. Kalau hilang etika ya sudah tidak bisa menimbulkan simpati lagi.

Jujur saja, sebagai pembeli aku tidak terlalu suka pedagang yang suka memaksa menawarkan barang dagangan mereka. Ya, mungkin karena mereka benar-benar butuh uang. Tapi, apapun itu alasannya, adab dan etika berdagang tetap harus diperhatikan, bukan?

Ya, seperti diriku ini yang katanya ingin menjadi seorang penulis. Dalam suasana, situasi dan kondisi apapun kau harusnya tetap menulis kan, membuat sebuah tulisan yang bermakna. Yah, kurang lebih, begitulah. Sekian dariku tentang cerita kesempatan yang hilang ini. bagaimana denganmu?

 

#Day10 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay10 #30DWCJilid26Squad2Day10 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Aku Menulis