Musuh Bebuyutan

"Enak?"
Ia hanya mengangguk. Mulutnya masih penuh. Bahkan, ia sampai mengangkat mangkuknya, untuk memperpendek jarak sendokan sup ke mulutnya. Tak lama ia telah meletakkan mangkuk sup beserta sendoknya. Sibuk mengelap mulutnya dengan tisu. Aku melirik isi mangkuk. Habis. Tandas tak bersisa. Itu artinya memang benar-benar enak baginya.

Aku segera membereskan piring, mangkok, sendok dan kawan-kawannya yang kini tergeletak tanpa isi. Saat beranjak menuju tempat cucian piring, aku menghela nafas kecewa. Jujur, aku sangat senang sekali ia menghabiskan hidangan yang aku sajikan. Itu artinya, tidak ada sisa makanan yang akan terbuang percuma alias mubadzir. Biasanya, ia memang selalu berusaha menghabiskan hidangan yang kusajikan. Tanpa banyak komentar, tanpa banyak cakap. Kurang ini. Kurang itulah. Karena begitulah sifatnya. Tapi aku tahu dan mulai paham. Setelah beberapa lama tinggal seatap dengannya dan mulai terbiasa dengan sikap dan gerak-geriknya. Malam ini, aku tahu ia menghabiskan hidangan yang kusajikan karena hidangan itu memang benar-benar enak baginya. Aku mengamati dalam diam saat pertama kali ia menyendok hidangan yang kubuat hingga ia selesai makan. Menyisakan hanya piring, mangkok dan gelas kosong. Semua tak luput dari perhatianku.

Aku kembali menghela nafas. Sore tadi, saat memasak, moodku memang sedang lumayan buruk. Diburu waktu pula. Hingga akhirnya, aku pun mengalah. Untuk kesekian kalinya, aku terpaksa memohon padanya untuk membantuku. Ia hanya melirik sambil tersenyum sinis padaku. Ia tahu aku tak suka padanya.
"Kau memang keras kepala ya," katanya sambil tertawa. Mengamati diriku yang kembali sibuk mengiris tomat. Aku diam saja. Menekuk muka, menulikan telinga atas komentar-komentar sinisnya tentang kemampuanku di dapur ini yang tak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Ia memang sok sekali. Mentang-mentang sakti. Sosoknya memang kecil. Tapi, kemampuannya jangan ditanya. Semua orang tahu dan kenal padanya. Ya, benar. Ia memang terkenal sekali dan juga sok kenal pada semua orang.

Aku berusaha bekerja secepat mungkin. Membereskan sisa-sisa peralatan. Agar aku bisa segera mengakhiri pertemuanku dengannya. Pertemuan yang sungguh sangat menyebalkan dan tentu saja malah membuat moodku semakin bertambah memburuk. Tapi sementara ini, aku tak punya pilihan lain. Aku sudah berusaha agar bisa mengenyahkannya dari kehidupanku, minimal dari dapur keluarga kecilku ini.

"Hmmm...." gumamku saat suapan pertama masuk ke mulutku. Suamiku hanya tersenyum. Ia juga sedang sibuk mengunyah. Di hadapan kami, terhampar hidangan berbungkus daun pisang ditemani nasi putih yang masih hangat mengepul. Menu makan malam kami kali ini. Bothok telur asin. Teman kerja suamiku yang membuatnya. Dibuat kalau ada yang pesan saja.
Aku membuka bungkusan kedua sambil melirik suamiku yang nyengir lebar.
"Enak kan?" katanya. Aku tak menjawab. Hanya nyengir yang lebih lebar daripada suamiku. Sebenarnya selain enak, aku nambah karena masih lapar dan ngomong-ngomong tentang enak...
"Pasti pakai itu ya..." bahkan aku pun tak kuasa menyebut namanya, musuh bebuyutanku itu.
"Jelas pakai.. makanya enak. Dimana-mana orang juga pakai dia. Kamu aja yang keras kepala," kata suamiku. Aku terdiam. Sedikit kesal mendengar ucapan suamiku barusan.  Tiba-tiba saja aku kehilangan selera makan. Ditelingaku kini, aku bisa mendengarnya lagi tertawa sinis dan berkata, "apa kubilang, kamu memang benar-benar keras kepala. Ha..ha..haaa..."

#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#KomunitasMenulis20
#GoresanPenaKeempat
#TulisanBebas
#OktoberPekanPertama
#PostHariSenin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Aku Menulis