Kendi

Hari Ahad pagi beberapa pekan lalu aku pergi ke pasar. Niat awal dari rumah ya, belanja sayur mayur kebutuhan mingguan, sekaligus mencari kulot atau bawahan santai untuk kupakai di rumah. Tak ketinggalan belanja empon-empon alias rempah-rempah untuk dibuat minuman penambah imun.

Yang pertama kulakukan setelah memarkir motor di tempat parker adalah menuju ke lantai satu, tempat pedagang baju berada. Di salah satu toko aku mulai memilih dan mencari kulot yang cocok. Singkat cerita, aku sudah mendapat dua buah bawahan santai di dua toko yang berbeda dengan harga yang sesuai.

Setelah itu, aku menuju ke lapak penjuan empon-empon langgananku. Sebetulnya, kalau boleh dibilang, hanya disinilah tempat aku bisa menemukan semua empon-empon yang aku butuhkan, karena memang di pasar ini setahuku hanya di lapak ini lapak terlengkap yang menjual empon-empon beserta uba rampe yang lainnya. Jujur saja, karena ibu penjualnya, yang berusia sudah lebih dari separuh baya itu masih terlihat muda, tetapi kurang ramah alias agak judes. Jadi, sedikit membuatku malas untuk berbelanja disini. Namun, apa boleh buat? Aku tidak punya pilihan lain.

Selain itu, jika aku mengunjungi lapak ini, imajinasiku langsung bebas terlempar ke dalam dunia sihir Harry Potter. Seakan-akan aku berada di kawasan Diagon Alley, pasar tempat dimana Harry Potter biasa berbelanja barang-barang kebutuhan sihirnya sebelum dia berangkat memakai kereta Hogwarts Ekspress untuk memulai semester barunya di sekolah sihir Hogwarts. Sedangkan ibu penjual lapak empon-empon itu, mengingatkanku pada salah satu tokoh di film Holes, yang bernama Madam Zeroni. Well, maafkan imajinasi liar penulis ini yang tak bisa kubendung. Ya, setidaknya imajinasiku itu yang sedikit bisa membuatku bertahan sejenak untuk menemaniku bertransaksi di lapak sempit ini.

“Nyari opo, Ndhuk?” begitu sapaan dari ibu penjual lapak sambil mengunyah sirih dengan santainya saat aku menampakkan diri di etalase lapaknya. Aku membaca kertas kecil berisi daftar belanjaan dan menyebutkan beberapa barang yang kubutuhkan. Jahe, temulawak, serai, kunyit, kunir, dan kencur. Si ibu tanpa banyak bicara mulai membungkus beberapa bahan yang akan kubeli dengan kertas pembungkus. Sementara aku menanti si ibu menyelesaikan daftar belanjaku yang lumayan banyak itu (well, sekalian belanjanya daripada bolak-balik kesini karena keluargaku sekarang cukup sering membuat wedang rempah) aku mengedarkan pandang ke dalam toko.

Sesuatu menarik pandangan mataku kali ini. Sebuah benda yang terbuat dari tanah liat, seperti kendi tapi bentuknya tidak seperti kendi yang biasanya. Aku lalu bertanya kepada ibu penjual tentnag kendi.

“Bu, ada kendi? Tempat air?” tanyaku. Si ibu mengangguk.

“Ada,” jawabnya singkat.

“Berapa harganya?”

“Dua puluh ribu,”

“Bisa lihat, Bu?” pintaku.

“Sebentar,” jawab ibunya. Kemudian tak berapa lama ia menghilang sejenak ke dalam tumpukan barang-barang dan kembali membawa sebuah kendi ke hadapanku.

“Ini,” katanya sambil menyodorkan kendi yang biasa dipakai sebagai tempat air minum kepadaku.

Nah, ini yang kumaksud. Kendi yang sudah sering kulihat di tempat Budhe di Solo sana. Kendi yang biasa dipakai Budhe untuk menyimpan air minum, dan memang minum dari air kendi segar sekali rasanya, karena dingin seperti air yang disimpan di kulkas tapi dinginnya tidak terlalu menusuk lambung dan tenggorokan. Well, I hope you know what I mean, heheheh.

Saat aku sedang mengamati kendi itu dengan saksama, sambil menimbang-nimbang apakah aku jadi membelinya, tiba-tiba seorang pembeli lain datang.

Ia menanyakan tentang kendi jamu. Si ibu penjual tanpa banyak bicara lagi kembali menghilang dan datang dengan sebuah kendi di tangan.

Oalah, rupanya barang yang tadi kulihat menarik perhatianku adalah sebuah kendi jamu. Kendi yang khusus dipakai untuk merebus jamu, alias empon-empon. Aku baru tahu hal itu. Pembeli itu tanpa banyak cakap melakukan transaksi dengan ibu penjual, ya sempat menawar sebentar tapi ditolak oleh ibu penjualnya. Lalu dia pun akhirnya membayar sesuai dengan harga yang disebutkan oleh ibu penjual. Secepat dia datang, secepat itu pula dia pergi. Meninggalkanku kembali berdua dengan si ibu penjual empon-empon.

Si ibu masih menyelesaikan membungkus pesananku. Aku memberanikan diri bertanya tantang kendi jamu tadi, yang khusus di pakai untuk merebus jamu.

“Lebih enak pakai kendi, mbak. Lebih meresap, ya aromanya lebih dapat. Beda kalau pakai panci alumunium biasa,” jelas ibunya yang tentunya sebagai penjual rempah dia pun berpengalaman sebagai ‘pemakai’ rempah-rempah sendiri.
 

Kendi Jamu dan Kendi Air hasil cuci mata di pasar, hehehe...

Aku merasa tertarik karena memang saat ini keluargaku cukup rutin merebus jamu hampir setiap hari, ya karena memang ada kebutuhan. Akhirnya, tanpa pikir panjang lagi, aku menambahkan dua kendi itu ke dalam daftar belanjaanku, hihihi. Kendi air dan kendi jamu.

Akibatnya, aku hanya bisa membeli separuh sayuran dari daftar belanjaanku, karena aku tidak membawa uang lebih. Begitulah, kalau belanja di luar rencana. Tapi, tak mengapalah. Daripada penasaran, whehehe.

Kendi rebus jamu itu sudah kupakai untuk merebus jamu. Asyik aja sih sensasinya, hihihi. Kalau kendi air masih sampai sekarang masih kuendapkan dulu alias kuisi dengan air biasa, agar bau tanahnya hilang dan siap dipakai untuk diisi dengan air minum yang sebenarnya. Ah, segar sekali rasanya minum dari air kendi.

#Day19 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay19 #30DWCJilid26Squad2Day19 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Aku Menulis