Paket Tombo Kangen

“Paket..” kata Mas Kurir JnT yang berhenti persis di depanku saat aku tengah membereskan jemuran baju di depan rumah.

“Ya…” aku menjawab kaget sambil menerima uluran kardus yang cukup besar dari Mas Kurir yang sudah biasa mengantarkan paket yang dialamatkan ke sini.

“Makanan ya mbak,” tanya Mas JnT, mungkin sekalian mengkonfirmasi isi barangnya.

“Iya mas, tombo kangen sudah lama nggak pulang,” jawabku malah curcol


 

Lalu, secepat Mas Kurir datang, secepat itulah dia pergi, mengantarkan rombongan paket yang menggelayut di belakang jok motornya ke alamat tujuannya masing-masing.

Segera aku masuk ke dalam sambil membawa masuk kardus paket itu, yang disambut antusias sama Si Kaka.

“Apa itu, Bunda?” teriaknya girang.

“Paket, dari Mbah Biyung,” jawabku menyebut nama ibu mertua yang kupanggil Biyung itu.

“Aku aja yang buka,” kata Si Kaka bergegas mengambil gunting.


 

Sambil menemani Si Kaka berkonsentrasi penuh membuka isi paket, aku mengirim chat kepada Ayah, memberitahu kalau paket yang dikirim dari kampung halamannya sudah tiba di rumah.

Cepatnya, kataku dalam hati. Betapa canggih jasa pengiriman jaman sekarang. Padahal, paket itu baru dikirim hari Rabu siang dan hari Kamis paginya jam 8, paket itu sudah mendarat dengan aman di rumahku.

Si Kaka akhirnya menyerah membuka paket, dan mengulurkan gunting kepadaku. Dengan cepat aku pun segera beraksi, tak sabar melihat isi paket yang terbungkus dalam kardus besar. Padahal, pesanan Ayah hanyalah 2 kg ikan tongkol. Satu kilogram ikon tongkol irisan yang sudah digoreng dan satu kilogram lagi dibiarkan mentah, sesuai pesanan Ayah, yang sepertinya memang sudah kangen sekali pulang ke tanah kelahirannya.




 

Ya, semenjak pandemi Covid-19, terhitung hampir satu tahun kami belum dapat pulang ke tanah kelahiran Ayah di Bobotsari, Purbalingga. Seharusnya jika kondisi normal, kami sudah bisa pulang 2 kali saat liburan lebaran dan liburan kantor tempat ayah bekerja. Ya, begitulah misteri kehidupan ini, tidak ada satupun yang bisa menduga kejadian yang bakalan terjadi di masa mendatang.


 

Lalu, setelah Ayah pulang kerja, dengan semangat Ayah turun tangan memasak sendiri mendoan Banyumas (karena aku belum lulus untuk bisa membuat dan menggoreng mendoan khas Banyumas ini dengan baik dan benar) dan mengolah ikan tongkol irisan yang sudah digoreng menjadi ikan tongkol balado. Hmmm… sedapnya.

Aku tetap mendapat jatah memasak sore itu, yaitu memasak tumis kangkung. Ah, perutku sudah keroncongan dari tadi tak sabar menunggu semua masakan matang untuk disajikan dan disantap bersama. MasyaAllah sedapnya…

Saat makan malam berlauk tongkol balado yang menggoda selera itu, Ayah sempat berucap, "jaman dulu, ikan tongko begini itu buat teman medang"

"Haa..." aku melongo tak percaya. Iya, maksudnya ikan tongkol biasa disajikan untuk para tamu yang datang ke rumah, bersama wedang teh, minuman khas bangsa Indonesia yang lazimnya disuguhkan ketika ada tamu yang bertandang ke rumah.

Hmmm, begitulah perubahan zaman ya. Sekarang ini mungkin tak lazim lagi menyuguhkan ikan tongkol bersama wedang teh kepada para tetamu. Namun, kalau disuguhkan bersama nasi hangat beserta lauk pauk dan sayur mayur, lain lagi ceritanya. Si tamu disuguhkan menu makan siang! Hehehehe.... 

Oh ya, aku lupa  satu hal, bahwa setelah menikah dengan suamiku, ya Ayah kesayangan si Kaka, aku baru tahu kalau ada ikan tongkol irisan semacam ini, yang dijual setengah matang (sudah diasapi) dalam bentuk irisan yang rapi berbungkus koran bekas dan karet gelang.

Sungguh, ini merupakan sebuah anugerah bagiku berjumpa dengan hidangan istimewa ini, karena sebelumnya aku belum pernah tahu ada ikan tongkol yang dijual dalam bentuk seperti ini. Mungkin, kalau aku tidak menikah dengan suamiku yang asli orang Purbalingga tulen, aku tidak akan pernah kenal dengan hidangan istimewa macam ini (hahaha, lebay, deh!)

Praktis banget gaess masaknya, nggak perlu repot, tinggal di goreng saja, lalu bisa diolah sesuai dengan selera, mau di sambal balado, atau masakan lainnya. Pastinya, hidangan ikan tongkol ini memiliki kandungan gizi yang sudah tak diragukan lagi. Makanya, Ayah seringkali bilang, dirinya itu pinter, smart and genious karena sejak kecil rajin menyantap hidangan istimewa ini. Yoweslah, sing waras ngalah, hehehe.

#Day8 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay8 #30DWCJilid26Squad2Day8 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fokus Mencinta

Mengapa Harus PNS?