Memetik Buah Belimbing
Suatu sore yang syahdu. Kompleks perumahan kami cukup sepi. Aku menemani Si Kaka bermain di halaman rumah. Ada beberapa anak laki-laki yang bersepeda melintas, lalu mereka tak pernah terlihat kembali.
Hanya aku dan Kaka berdua, menikmati sore dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Si Kaka awalnya mengajak main cat air, menyapukan kuas pada kardus bekas. Lalu, lama-lama ia mencat kaki dan jari tangannya sendiri. Aku membiarkannya, toh selepas ini waktunya mandi sore.
Kemudian, ia mulai bosan. Kali ini, bermain lompat berlagak seperti pahlawan super di halaman teras. Aku bergabung dengannya ikut menyemangati pahlawan kecilku itu. Sembari menemaninya beraksi, aku mengedarkan pandang ke sekitar, dan mataku tertumbuk pada pohon belimbing yang rimbun milik tetangga sebelah rumah kami persis.
Saat ini pohon belimbing tengah berbuah lebat. Belimbing itu adalah jenis belimbing Demak, yang buahnya besar-besar dan tentu saja manis rasanya. Kami sering di kasih Bapak (sebutan kami untuk lelaki paruh baya tetangga kami yang memang hobi berkebun itu) buah belimbing matang yang ukurannya besar-besar. Sungguh menggoda selera. Bapaklah yang rajin merawat dan memanen pohon belimbing satu-satunya di depan rumah itu. Aku seringkali melihat Bapak dengan santainya naik ke atas pohon belimbing itu. Beliau membrongsong (membungkus) buah belimbing yang maih muda dengan plastik buah, tujuannya tentu saja agar tidak dimakan hama.
Tanpa sadar aku mendekat ke bawah pohon belimbing itu. Terlihat beberapa buahnya berwarna kuning tanda sudah matang. Besar dan menggoda selera. Jujur saja, tiba-tiba aku ingin segera memakannya. Hmm… yummy.
Tiba-tiba, Mbak Bella, anak sulung Bapak, keluar dari rumah dan menyapa kami seperti biasa. Dia suka menggoda Si Kaka.
“Lagi mainan apa?” tanyanya pada Si Kaka.
“Superheroo…” jawab Kaka sambil melompat-lompat kesana kemari. Aku hanya geleng-geleng kepala saja.
Lalu, aku bercakap-cakap dengan Mbak Bella tentang buah belimbing yang sudah pada matang itu.
“Ambil saja kalau mau, Te. Belum sempat diambil Bapak,” katanya. Aku pun tergoda untuk mengambilnya sendiri. Keluargaku yang pendatang ini memang sudah dianggap seperti saudara sendiri oleh Bapak dan keluarganya.
Namun sayangnya, tidak ada galah yang bisa dipakai untuk mengambil buah belimbing itu. Mbak Bella bilang keluarga mereka tidak punya galah panjang. Dulu sempat ada rencana mau beli tapi belum kesampaian sampai sekarang.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Pinjem kemana ya? Para tetangga terlihat sepi. Lalu, setelah beberapa saat menimbang, aku coba putuskan untuk memanjat pohon belimbing itu seperti yang biasa Bapak lakukan.
Jujur saja, dulu sewaktu kecil, salah satu hobiku adalah memanjat pohon. Ya, mulai dari pohon mangga, pohon jambu biji, jambu air, pohon belimbing, sampai pohon papaya. Ya, hanya pohon pisang saja yang belum pernah dipanjat karena memang tidak bisa dipanjat, hihihi. Walaupun pernah ada pengalaman tak mengenakkan sewaktu aku tidak berani turun dari pohon jambu yang baru pertama kali kupanjat, hingga tetanggaku berbaik hati mengambilkan tangga untukku agar aku bisa turun dari pohon, tetapi hal itu tidak membuatku kapok untuk terus memanjat pohon lagi.
Well, dengan merasa sedikit percaya diri aku mulai memanjat pagar, karena memang pohon belimbing itu tumbuh persis di dekat pagar rumah. Namun, saat sudah berada di atas pagar… olalala, rasanya kok gamang ya melihat ke bawah? Aku mencoba memberanikan diri memijakkan kakiku pada dahan terdekat dengan pagar besi, tapi ternyata aku belum berani. Huff…
Pohon Belimbing di tempat Bapak Tetangga |
Aku mendongak ke atas dan merasa serasa buah belimbing montok yang berwarna kuning berkilauan terkena cahaya matahari itu mengejek kepadaku. Menertawakan ke-pede-anku memanjat pohon belimbing untuk meraihnya.
Beberapa saat aku masih mencoba berdiri di atas pagar, mengumpulkan keberanianku untuk menapakkan kaki di dahan pohon yang paling dekat dengan pagar. Namun, keberanian itu tak kunjung tiba jua. Akhirnya pun aku menyerah, kembali turun dengan perasaan campur aduk.
Misiku untuk memetik buah belimbing gagal sudah. Terpaksa bersabar menunggu Bapak pulang nanti untuk memanen buah belimbing yang memang sudah matang pada waktunya itu. Siap dipetik.
Tapi, sungguh dari peristiwa yang kualami ini aku jadi merenungkan tentang beberapa hal. Terkadang, kita menganggap sesuatu itu sepertinya mudah sebelum diri kita sendiri akhirnya melakukannya dan mendapatkan pengalaman tentang hal itu.
Contohnya disini, aku biasa melihat Bapak memanjat pohon belimbing itu, dan menurutku itu adalah hal yang gampang untuk dilakukan, sampai aku sendiri mencobanya dan ternyata gagal, alias aku belum berani memanjat pohon belimbing itu sampai ke dahan paling atas.
Sama seperti dalam dunia kepenulisan, ketika aku melihat orang lain membuat sebuah tulisan, lalu aku membacanya dan mulai berkomentar dalam hati. Wah, hanya tulisan seperti ini, aku juga bisa membuatnya. Tapi pada kenyataanya, terkadang aku hanya sibuk berkomentar saja atau menikmati hasil karya tulisan orang lain, hingga aku tidak punya waktu untuk menghasilkan karyaku sendiri.
Pelajaran kedua yang kuambil adalah, aku menginginkan buah belimbing yang sudah matang siap dipetik itu. Walaupun pohon itu bukan milikku, tapi sang empunya pohon sudah mengijinkanku mengambilnya sepuas hatiku. Pohon itu ada, tampak nyata dan buah belimbing itu terpampang di depan mataku. Jika aku berdiri persis di bawah kerindangan pohon belimbing itu, maka ukurannya kira-kira buah belimbing yang paling dekat dengan jangkauan tanganku adalah sekitar 2 sampai 3 meter. Cukup dekat, bukan? Namun sayangnya, aku tidak punya galah untuk meraihnya dan setelah aku mencoba memanjat pagar, aku belum punya keberanian untuk memanjat pohon belimbing dan mencoba meraih buah belimbing matang siap petik yang paling dekat dengan tempatku berpijak. Duuh, gemes banget kan rasanya?
Buah belimbing itu ibarat impian yang ingin aku raih. Aku sudah tahu persis impianku, salah satunya adalah menjadi seorang penulis. Buah belimbing itu tampak nyata, seperti halnya profesi seorang penulis yang juga tampak nyata di dunia ini. Untuk bisa mendapatkan buah belimbing itu, aku harus menggunakan galah sebagai alat yang aku pakai untuk meraihnya, atau dengan cara lain yaitu memanjat pohon untuk memetiknya langsung, atau terkadang anak-anak iseng suka melempar sandal ke atas pohon, berharap sandal yang mereka lemparkan akan mengenai buah belimbing yang sudah matang itu. Tapi, kalau buah belimbingnya jatuh, tampilannya jadi nggak bisa cantik, kan? Jadi, ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk memetik buah belimbing yang sudah matang dipohon. Sama halnya dengan impian yang ingin kita raih. Ada beberapa cara yang bisa kita pakai untuk mewujudkan impian kita.
Contohnya diriku ini yang ingin menjadi seorang penulis, apa cara-cara yang kulakukan agar impianku itu bisa tercapai? Galah apa yang kupakai, atau stategi apa yang harus kulakukan agar bisa memanjat pohon impianku sampai ke tujuan?
Jika aku ingin menjadi seorang penulis ya caranya dengan terus menulis. Selain itu, aku harus ikut komunitas atau berada di lingkungan yang membangun, seperti yang kulakukan saat ini, bergabung dengan salah satu kelas menulis bertajuk 30DWC yang digawangi oleh mentor Rezky Firmansyah, dan berusaha memperluas jaringan pertemanan dengan kawan-kawan yang sevisi dan semisi di dunia kepenulisan. Sementara ini, itulah cara-cara yang kulakukan dan aku berharap perjalananku yang sekarang kutempuh ini suatu saat akan bisa menghantarkanku pada impian yang aku idam-idamkan. Aamiin.. ya rabbal ‘alamiyna. Keep writing, keep learning, and keep fighting. Write and shine, draw and glow.
#Day7 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay7 #30DWCJilid26Squad2Day7 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26
Komentar
Posting Komentar