Bermain Salju-saljuan
Selalu Ada Toleransi dalam Seni, Kecuali yang Menyangkut Hukum Syar’i
Tadinya tulisan ini mau kuberi judul seperti itu, tapi aku lalu berfikir, kelihatannya terlalu formal sekali macam tulisan opini ya, hehehe, padahal seperti biasa, ini adalah sebuah tulisan jurnal harian alias uneg-uneg sehari-hari, hihihi.
Jadi awalnya, well… semua berawal saat Ayah menurunkan dua buah sterofoam panjang dari atas lemari pendingin yang tadinya berada di dalam kardus televisi. Karena kardusnya kupakai, maka sterofoam yang memang biasa dipakai sebagai pengaman barang-barang elektronik di dalam kardus aku pindahkan ke atas lemari pendingin, satu-satunya tempat di rumah yang masih tersisa untuk menyimpang barang yang sudah bisa dibuang tapi belum ingin dibuang saat itu juga, hehehe. Paham kan, maksudnya?
Sterofoam yang memang sudah kotor terkena debu itu oleh Ayah langsung di taruh di tempat sampah depan rumah, siap diangkut oleh Pak Sampah. Aku yang melihatnya merasa, duuh, eman-eman deh, kayaknya masih bisa dibuat mainan anak. Maka akhirnya, sterofam yang tergeletak di atas tong sampah, karena memang berukuran besar dan tak muat di tong sampah itu, aku ambil kembali dan aku cuci sampai bersih, lalu kujemur. Kebetulan hari ini awan sedang berbaik hati mengijinkan cahaya matahari menyampaikan sinarnya sampai ke bumi.
Sterofoam itu pun cepat kering, dan kusodorkan kepada si Kaka yang menerimanya dengan senang hati. Imaji anak-anaknya pun bermain. Menjelang siang, mentari meredup sinarnya dan mendung datang mengampiri. Aku menemani Kaka bermain di dalam rumah dengan sterofoamnya itu. Kami bermain terowongan, lego, kapal-kapalan naik sterofoam, dan papan seluncuran. Bentuk sterofoam itu sama panjang seperti dua buah papan seluncuran salju. Si Kaka pun bermain dengan riang.
Begitulah hingga sore menjelang. Saat Ayah pulang, aku menyembunyikannya di dalam tenda besar milik Kaka dan Kaka pun tak banyak bercerita pada Ayah kalau ia punya mainan baru, dua buah sterofoam panjang. Aku sih menduga sepertinya Ayah tahu, tapi beliau diam saja. Ya sudah, hehehe.
Paginya, seorang teman main Kaka datang ke rumah, lalu mereka bermain masak-masakan bersama. Tak lama, menyusul lagi seorang teman. Lalu, entah kenapa suasana menjadi berisik di dalam rumah dan akhirnya aku ‘mengusir’ mereka untuk bermain di teras rumah saja.
Akhirnya, mereka bertiga bermain dengan gembira bersama imajinasi mereka dengan dua buah sterofoam bekas itu. Aku hanya mengawasi dari jendela kamar, yang berbatasan langsung dengan teras rumah. Selama kondisi aman, aku bisa mengawasi mereka bermain sambil mengerjakan hal lain seperti menggambar, mengetik tugas, dan lain-lain.
Nah, selang tak berapa lama kemudian, datanglah anak-anak ‘besar’. Yang kumaksud dengan anak-anak besar adalah anak-anak yang sudah duduk di bangku Sekodah Dasar dna Menengah. Mereka berkumpul di teras rumah. Ada sekitar 6 anak besar dan semuanya laki-laki, ya karena disini kebanyakan area anak laki-laki dengan usia setara kelas 4 sampai 6 SD. Aku mendengar salah satu diantara mereka mengusulkan ide bermain salju yang langsung disambut antusias oleh anak-anak yang lain.
Aku hanya membiarkan mereka saja. Bermain salju dengan sterofoam, kau tahu kan maksudnya? Memarut sterofoam sehingga menjadi butiran-butiran kecil berwarna putih macam salju. Menyenangkan sekali memang, tapi ada konsekuensi yang harus diterima kemudian saat harus membereskan kekacauan yang terjadi.
Mereka juga tahu itu, dari diskusi kecil mereka saat sedang ‘memarut’ sterofoam itu. Tapi, aku mendengar mereka juga sepakat untuk membersihkannya bersama. Akhirnya, mereka melanjutkan kembali acara memarut sterofoam itu bersama-sama. Anak-anak yang lebih kecil berteriak dengan antusias saat butiran sterofoam itu telah terkumpul banyak. Mereka menjerit-jerit dan terdengar sangat girang sekali.
Aku hanya ikut tersenyum sambil sesekali mengawasi mereka dari jendela kamar. Ah, lihatlah betapa bahagianya mereka. Jujur, aku tak tahu apakah jika Ayahnya yang maniak kebersihan itu berada di rumah, beliau akan mengijinkan mereka bermain salju-saljuan ini?
Mungkin jawabannya tidak. Jujur saja, mungkin kalau kondisi hatiku sedang tak lapang, mungkin aku sendiri juga tak akan mengijinkan mereka bermain salju-saljuan ini karena kekhawatiran yang membayang di depan mata terlebih dahulu.
“Nanti yang mau beresin siapa?”
“Nanti susah diberesin!”
Bahkan, aku sempat mendengar seorang tetangga yang melintas di jalan depan rumah juga ikut berkomentar singkat,
“Nanti susah lho, bersihinnya.”
Tapi, namanya juga anak-anak. Rasa penasaran mereka mengalahkan segalanya. Well, begitulah. Bagiku sendiri sebagai orang yang merasa dan mengaku teraliri darah seorang seniman dalam diriku, aku selalu mengijinkan si Kaka melakukan hal-hal yang terkadang menurut kacamata orang normal, well, itu … adalah sesuatu hal yang, begitulah, bagaimana ya menjelaskannya?
Belepotan cat, basah air, terkena lumpur, main pasir, ya hal-hal yang nyeleneh ala seniman lainnya.
Bagiku itu adalah sesuatu kesempatan yang, Wow, sedangkan menurut orang lain, itu adalah hal yang terkadang di luar nalar. Ya, kau tahu. Jalan berpikir yang berbeda. Amat susah bagi orang yang suka kerapihan, kebersihan dan keteraturan menerima hal-hal yang tak teratur, belepotan, dan semacamnya. Bagiku sendiri, terkadang masih sukar memahami jalan pikiran orang-orang yang selalu harus rapi, bersih, teliti, cermat, tepat waktu.
Baiklah, sebagai gambarannya, aku mengambil analogi sebuah tempat. Dalam pikiran orang yang berbeda denganku, sebuah tempat itu adalah hotel kelas berbintang yang tentu saja haram ada debu yang menempel pada bangunannya, sedangkan bagiku, sebuah tempat bagai surga itu adalah bengkel seni. Dimana karya seni terpajang dimana-mana, beberapa kaleng cat, peralatan seni dari karya yang belum terselesaikan masih bertebaran dimana-mana.
Ya, kuberitahu kau satu hal. Bagi orang seni, berantakan adalah sebuah proses, bagian dari seni itu sendiri. Ketika dia belum selesai berkarya, haram baginya membereskan peralatan kerjanya ke tempat semula dengan rapinya, well, kau bayangkan saja tukang bangungan yang sedang membangun rumah. Bagaimana bentuknya?
Peralatan mereka tersebar di sudut-sudut rumah bukan, ketika mereka sedang bekerja? Tetapi, ketika mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, rumah itu sudah berdiri dengan sempurna, dalam sekejab mereka akan mengemasi sendiri peralatan tempur mereka dan kau akan menyaksikan sebuah maha karya yang luar biasa. Begitulah denganku.
Aku kembali tersadar dari lintasan pikiranku saat mendengar suara anak-anak menjerit girang di teras rumah sambil berteriak, “salju … saljuu ... saljuuu ….” Kali ini, entah kenapa aku tidak begitu tertarik mengabadikannya dalam kamera gawaiku. Biarlah saja, aku ingin tahu kelanjutannya bagaimana.
Setelah beberapa saat mereka bermain salju-saljuan, akhirnya mereka mencukupkan diri dan mulai membersihkan teras rumah dari butiran-butiran kecil sterofoam yang beterbangan kemana-mana itu sebisa mereka. Aku menutup jendela dari dalam agar butiran itu tak ikut beterbangan ke dalam kamar. Mereka menginstruksikan para anak-anak yang lebih kecil untuk menjauh dari teras sementara.
Tak lama setelah itu, langit perlahan berubah menjadi gelap pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Mereka pun bubar dengan sendirinya. Aku bergegas keluar rumah mengambil jemuran baju sambil mengedarkan pandang ke sekitar, mengobservasi hasil karya mereka yang tentu saja masih menyisakan butiran-butiran sajlu palsu itu di teras rumah. Ya, lumayan juga, pikirku. Mengingat butiran-butiran itu memang cukup sulit untuk dibersihkan.
Aku menghargai usaha mereka. Terlebih, aku menghargai ‘perasaan’ dan keinginan mereka untuk bermain salju palsu itu itu. Terkdang orang dewasa lebih mementingkan ego, sudut pandang, dan perasaan mereka sendiri dibanding perasaan anak-anak.
“Nanti kotor!”
“Nanti susah dibersihkan!”
“Nanti begini. Nanti begitu!” dan sederet kekhawatiran dan kecemasan lainnya. Padahal, kapan lagi ada kesempatan serupa itu? Jiwa-jiwa muda mereka meronta.
Ya, karena aku pernah dalam situasi semacam itu. Aku tak bisa menjelaskan sesuatu dan tak tahu bagaimana caranya. Sementara orang dewasalah yang harusnya lebih bisa memahami situasi. Lebih bisa mengerti, namun pada kenyataanya, mereka malah menutup diri memperturutkan ego pribadi.
Bagiku, selalu ada toleransi dalam sebuah karya seni, selama hal itu tak melanggar hukum-hukum dan prinsip syari’i. Itu saja. Maka, aku selalu mengijinkan anakku untuk bereksplorasi sesuka hati.
#Day21 #Squad2 #30DWC #30DWCJilid26 #30DWCDay21 #30DWCJilid26Squad2Day21 #Pejuang30DWC #Pejuang30DWCJilid26
Komentar
Posting Komentar